KONDISI DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PESISIR CORAL REEF
KABUPATEN NATUNA, RIAU
Penulis: Dea Cahya Edinita (08161018)
Tugas Mata Kuliah: Pengantar Lingkungan Pesisir
Dosen Pengampu: Ariyaningsih, S.T., M.T., M.Sc. & Dwiana Novianti Tufail S.T., M.T.
Kabupaten Natuna terletak secara geografis antara 108001'10" – 108010'15" LU dan 3047'00" – 4006'00" BT memiliki luas kawasan sekitar 142.997 Ha. Sementara secara administratif, wilayah kawasan konservasi ini terdapat di wilayah Kecamatan Bunguran Utara, Timur dan Pulau Tiga Kabupaten Natuna (DKKHL, 2015). Tatanan tektonika sekitar kepulauan Natuna berada di daerah prisma akrasi dan menempatkan Pulau Natuna terletak dibusur luar dari penunjaman kearah baratdaya pada jaman Kapur Akhir atau Tersier Awal, kedua, terletak di sebagian daerah bancuh dan ketiga terletak dibagian tumbukan antara kerak Samudra Hindia dan Dataran Sunda pada Jura (Hutchison, 1973). Kabupaten Natuna yang beriklim tropis memiliki temperatur dalam setahun berkisar antara 230C – 310C, sementara curah hujan rata-rata pada tahun 2005 adalah 137,6 mm/tahun, dengan curah hujan terendah pada bulan januari sebesar 1,0 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 436,6 mm/tahun. Sedangkan rata-rata kelembaban udara sebesar 83, 17% dalam kisaran 77% - 90%. Suhu di kawasan konservasi ini berkisar antara 29,540C - 30,020C, salinitas berkisar antara 30-32 ppt, pH 7, 76 - 8, 26 dengan kecerahan (transparansi) antara 5-10 m (DKKHL, 2015).
Melalui kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management (COREMAP II), sebagian kawasan perairan Kepulauan Natuna diperuntukkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD di Kabupaten Natuna ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Natuna Nomor 299 Tahun 2007, tanggal 5 September 2007 (Kamal, 2009). Berdasarkan dokumen rencana pengelolaan KKLD, disebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan KKLD Kabupaten Natuna adalah (a) melindungi ekosistem terumbu karang dan satwa langka di dalamnya dari degradasi akibat pemanfaatan yang merusak lingkungan, (b) melestarikan ekosistem terumbu karang sebagai wadah penunjang pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan, (c) meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan, (d) melaksanakan sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat, dan (e) terciptanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang (DKP Kabupaten Natuna, 2007).
Pemerintah Daerah Natuna dalam pengelolaan terpadu kawasan pesisir, memandang perlu untuk melakukan pengumpulan informasi dan data geologi padakawasan pesisir. Hempasan gelombang kuat yang terjadi khususnya selama musim angin timur pada garis pantai
mengakibatkan abrasi dapat mengganggu kestabilan pemukiman penduduk dan sarana umum kawasan pesisir. Kawasan pesisir Pulau Natuna merupakan potensi yang signifikan untuk dapat dijadikan kawasan wisata. Pantai berbatu granit adalah potensi wisata yang sangat tinggi jika dikembangkan di kawasan ini. Keberadaan terumbu karang di dasar laut memiliki daya tarik tersendiri bagi para penyelam baik penyelam domenstik maupun manca negara.
Sebaran granit yang sangat luas serta pantai berpasir merupakan bahan galian golongan C yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk pembangunan daerah (Setiady, 2010). Sebaran potensi terumbu karang di Kabupaten Natuna cukup luas sehingga memungkinkan untuk budidaya ikan karang dan ikan demersal didukung oleh letaknya yang jauh dari penyebab kerusakan lingkungan laut seperti: lalu lintas pelayaran, pembangunan yang berskala besar dan potensi senyawa kimia yang merusak perairan, menyebabkan kepulauan ini kaya akan beraneka ragam jenis Biota Laut, termasuk juga jenis-jenis yang menjadi primadona untuk komoditas ekspor seperti ikan Napoleon (Olianus undulatus), Kerapu (Plectropomus leopradus) dan teripang (Holothuroidea sp) (Pigawati, 2005). Di Kepulauan Natuna dapat ditemukan terumbu karang dalam katagori cukup sampai baik, seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Luas dan Sebaran Terumbu Karang
Sumber: Pigawati, 2005.
Menurut Pigawati, Kepulauan Natuna pada umumnya merupakan pulau berkarang dengan tipe terumbu karang pantai (fingging reef) dan daratannya merupakan daerah berbukit, seperti Gunung Ranai yang memiliki tiga puncak, yaitu sebelah utara (1.035 M), tengah (987M) dan selatan (665 M), Bukit Bedung (450M), dan Tegal Belian (174 M). Kondisi terumbu karang secara umum pada kondisi buruk hingga sedang, dimana terumbu karang yang hidup hanya sekitar 24% berupa polip-polip karang, seperti jenis karang massive, Acropoa submassive, foliose, dan sedikit soft coral. Namun menurut berita pada Liputan6.com, masih banyak sampah dan terumbu karang yang mati mencemari di sebagian laut Natuna.
Koenawan menjelaskan kerusakan terumbu karang di daerah ini disebabkan oleh dua hal yaitu proses secara alami dan adanya kegiatan manusia. Kerusakan yang disebabkan dari proses alami adalah adanya blooming predator bintang laut dan bencana alam seperti tsunami. Sedangkan penyebab kerusakan terumbu karang yang kedua adalah diakibatkan oleh adanya kegiatan manusia yang secara langsung maupu tidak langsung merusak terumbu karang, seperti penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti dengan bahan peledak dan bahan beracun, penggalian karang untuk batu kapur dan limbah beracun yang masuk ke perairan, juga adanya kegiatan wisata pantai. Masalah kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh manusia dari akar permasalahan yang meliputi, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil, metode pengelolaan yang kurang memadai, instrumen penegakan hukum yang belum memadai, kurangnya kesadaran, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap nilai ekonomis dan arti strategis terumbu karang serta sulitnya mencari alternatif mata pencaharian di luar laut yang sesuai dan diminati oleh masyarakat sekitar.
Dalam hal ini, Koenawan menjelaskan upaya pengelolaan terumbu karang agar masih dapat digunakan generasi yang akan datang, pertama, melestarikan, melindungi, mengembangkan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau kualitas terumbu karang dan
sumber daya yang terkandung di didalamnya bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta memikirkan generasi mendatang. Kedua, mendorong dan membantu pemerintah daerah untuk menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan sesuai denga karakteristik wilayah dan masyarakat setempat serta memenuhi standar yang ditetapkan secara nasional berdasarka pertimbangan-pertimbangan daerah yang menjaga antara upaya ekploitasi dan upaya pelestarian lingkungan. Ketiga, mendorong kesadaran, partisipasi dan kerjasama/kemitraan dari masyarakat, pemerintah daerah, antar daerah dan antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan terumbu karang. Kondisi perairan di Kabupaten Natuna dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari, dengan adanya COREMAP di Kabupaten Bintan sangat membantu dalam melestarikan sumber daya perikanan khusunya ekosistem terumbu karang yang memberikan fungsi kehidupan ikan-ikan, sehingga masyarakat nelayan dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Bitta Pigawati. (2005). Identifikasi Potensi dan Pemetaan Sumberdaya Pesisir Pulau - Pulau Kecil dan Laut Kabupaten Natuna - Provinsi Kepulauan Riau. Semarang: Universitas Diponegoro.
Chandra Joe Koenawan, Soeharmoko, Dony Apdillah dan Khodijah. (2013). Studi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang dan Strategi Pengelolaannya (Studi Kasus Perairan Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau).
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna 2007. Laporan Akhir, Penyusunan Atlas Sumber Daya Pesisir dan Laut Kabupaten Natuna. Kepulauan Riau. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut.
Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015). Data Kawasan Konservasi. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut. Diakses 19 Maret 2018, dari Http://Kkji.Kp3k.Kkp.Go.Id/Index.Php/Basisdata-Kawasan-Konservasi/Details/1/73.
Hutchison, C.S., (1973). Tectonic Evolution Of Sundaland : A Phanerooic Synthesis. Geol. Soc. Malaysia Bulletin. V. 6, Pp 61 – 86.
Kamal, M. M., & Susilo, S. B. (2009). Dampak Kawasan Konservasi Laut Daerah Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang (Studi Kasus Desa Sabang Mawang dan Teluk Buton Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 16(2), 119-126.
Nurdin, Ajeng. (2017). Menteri Susi Sedih Terumbu Karang Rusak dan Sampah Cemari Laut. Jakarta: Liputan6. Diakses 19 Maret 2018, dari http://bisnis.liputan6.com/read/3050548/menteri-susi-sedih-terumbu-karang-rusak-dan-sampah-cemari-laut.
P. Astjario dan D. Setiady. (2010). Karakteristik Pantai Di Kawasan Pesisir Timur Pulau Natuna Besar, Kabupaten Natuna, Propinsi Riau. Bandung: Puslitbang Geologi Kelautan

Tidak ada komentar:

DEA CAHYA EDINITA. Diberdayakan oleh Blogger.